sierra-barter – Musim dingin yang kini melanda Jalur Gaza semakin memperparah penderitaan pengungsi Palestina yang telah lama menderita akibat pengepungan dan gempuran militer Israel. Dengan suhu yang turun hingga 4 derajat Celsius pada malam hari, banyak pengungsi yang kekurangan pakaian hangat, selimut, dan tempat berlindung yang layak.
Qusay Naser, seorang pengungsi dari Gaza, baru saja kehilangan anaknya yang berusia 22 hari akibat cuaca dingin yang ekstrem. “Saya tidur di sini, istri saya di sini, dan anak saya di sini. Saya bangun pada pagi hari dan menyentuh putri saya. Saya terkejut karena dia menjadi sangat biru dan keras seperti sebatang kayu,” kata Naser kepada Al Jazeera. Anaknya, Sila Al-Fasee, meninggal dunia setelah tidur pada malam hari karena cuaca yang sangat dingin.
Selain menghadapi kedinginan, pengungsi Palestina juga dilanda kelaparan akibat blokade Israel yang menghambat masuknya bantuan kemanusiaan. Program Pangan Dunia (WFP) menyatakan bahwa arus bantuan yang masuk ke Gaza sangat terbatas, dan mereka menyerukan gencatan senjata segera agar bantuan kemanusiaan dapat mencapai Gaza.
Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) memperingatkan bahwa hampir satu juta warga Palestina yang mengungsi di Gaza berisiko menghadapi musim dingin ekstrem tanpa perlindungan yang memadai. “Setidaknya 945.000 orang membutuhkan perlengkapan untuk musim dingin, yang telah menjadi sangat mahal di Gaza,” kata PBB. UNRWA telah berusaha mendistribusikan tenda dan selimut, tetapi jumlahnya tidak mencukupi untuk semua orang yang membutuhkan.
Reda Abu Zarada, seorang pengungsi dari Jabaliya, slot kamboja mengungkapkan kesulitannya menjaga keluarga tetap hangat. “Kami hanya memiliki sedikit kayu untuk dibakar sebagai penghangat. Tenda kami sudah kusam dan ditambal sulam,” katanya. Shadia Aiyada, yang mengungsi dari Rafah, hanya memiliki satu selimut dan sebotol air panas untuk menjaga delapan anaknya agar tidak menggigil di dalam tenda yang rapuh.
Hujan deras dan angin kencang juga telah merusak banyak tenda darurat yang didirikan oleh pengungsi. Abbas Lafi, seorang pengungsi dari Khan Younis, menceritakan betapa sulitnya menghadapi banjir di dalam tenda mereka. “Hujan dan air laut yang mengamuk menyeret semuanya, tenda, kasur, pakaian,” katanya. Banyak tenda yang hancur akibat cuaca buruk, dan pengungsi kesulitan mengganti tenda atau selimut yang rusak.
Selain masalah tempat berlindung, pengungsi Palestina juga menghadapi kekurangan pangan yang parah. Banyak keluarga tidak dapat memperoleh pasokan makanan pokok dan air bersih, sementara harga-harga kebutuhan pokok telah meroket. Masyarakat harus menunggu dalam antrean panjang selama berjam-jam di pusat-pusat distribusi makanan.
Dengan kondisi yang semakin memburuk, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi kemanusiaan lainnya terus berupaya mengirimkan bantuan ke Gaza. Namun, upaya ini terhambat oleh pembatasan yang diberlakukan oleh Israel. “Dengan laju penyaluran bantuan saat ini, akan butuh waktu dua tahun untuk mengirimkannya ke semua orang,” kata Louise Wateridge, juru bicara UNRWA.
Musim dingin di Gaza tidak hanya mengancam nyawa akibat serangan udara atau kelaparan, tetapi juga karena kedinginan yang ekstrem. Banyak anak-anak dan orang tua yang paling rentan terhadap cuaca dingin ini. “Musim dingin di Gaza berarti semakin banyak orang akan terancam kehilangan nyawa mereka karena menggigil kedinginan,” ujar Philippe Lazzarini, Komisaris Jenderal UNRWA.
Dalam situasi yang sangat sulit ini, pengungsi Palestina di Gaza terus berjuang melawan cuaca dingin dan kekurangan pangan. Mereka membutuhkan bantuan segera dan gencatan senjata agar bantuan kemanusiaan dapat mencapai mereka. “Kami seperti seorang yang sekarat karena kedinginan,” keluh salah satu pengungsi, menggambarkan betapa parahnya kondisi mereka saat ini137.